Nuraniindonesia.Com.: ZETMAN Koordinator Konsorsium Nasional LSM Serta Ormas di Kabupaten Seluma mengatakan bahwa Manusia terlahir dengan hak-hak alamiah, yang tidak dapat dilepaskan atau diserahkan kepada masyarakat atau pemerintah, kecuali atas perjanjian.Jum’at 24 -06 – 2022
Adapun Hak-hak tersebut secara alamiah tersebut adalah hak untuk hidup (life), hak-hak untuk memiliki sesuatu (estate), dan hak kebebasan (liberte).katanya
Di Indonesia, hak-hak tersebut telah tercakup dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen yang menjamin perlindungan HAM warga negara Indonesia.
Salah satu HAM yang dijamin oleh UUD 1945 adalah kebebasan berkumpul dan berserikat yang diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Pasal ini menjelaskan bahwa pemuatan hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu HAM yang menjadi hak konstitusi. Pasal ini pun menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak tersebut.
Selain itu, hak untuk berserikat dan berkumpul juga dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”. Sejalan dengan itu, kemudian dalam Pasal 24 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 juga berbunyi, “Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan Partai Politik,
Lembaga Swadaya Masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Ketentuan ini mengandung makna bahwa masyarakat diberikan hak untuk berperan secara aktif dalam penyelenggaraan negara melalui organisasi masyarakat sipil di luar pemerintahan demi tercapainya tujuan bangsa ini. Dalam praktik di Indonesia, pengaturan mengenai jaminan kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia dimulai pada tahun 1985 yang disebut dengan Perkumpulan, dengan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang disahkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Secara umum, aturan ini memberi ruang bagi masyarakat Indonesia untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan sebagai wadah pengorganisasian diri sekaligus juga saluran aspirasi sosial dan politik.ADV
Wr.Dina
Komentar